Suatu hari seorang Murid bertanya kepada Gurunya, “Guru, saya pernah mendengar kisah seorang arif yang pergi jauh dengan berjalan kaki. Cuma yang aneh, setiap ada jalan yang menurun, sang arif konon agak murung. Tetapi kalau jalan sedang mendaki ia tersenyum. Hikmah apakah yang bisa saya petik dari kisah ini?”
“Itu perlambang manusia yang telah matang dalam meresapi asam garam kehidupan”, jelas sang Guru. “Itu perlu kita jadikan cermin. Ketika bernasib baik, sesekali perlu kita sadari bahwa suatu ketika kita akan mengalami nasib buruk yang tidak kita harapkan. Dengan demikian kita tidak terlalu bergembira sampai lupa bersyukur kepada Sang Maha Pencipta. Ketika nasib sedang buruk, kita memandang masa depan dengan tersenyum optimis. Optimis saja tidak cukup, kita harus mengimbangi optimisme itu dengan kerja keras.”
“Apa alasan saya untuk optimis, sedang saya sadar nasib saya sedang jatuh dan berada di bawah,” sang Murid kembali bertanya.
“Alasannya adalah iman, karena kita yakin akan pertolongan Sang Maha Pencipta”, terang sang Guru.
“Hikmah selanjutnya?”, meneruskan tanyanya.
“Orang yang terkenal satu ketika harus siap untuk dilupakan, orang yang di atas harus siap mental untuk turun ke bawah. Orang kaya satu ketika harus siap untuk miskin,” sang Guru mengakhiri jawabannya.
Artikel yang berkaitan
- Starting Over with Handel
- Tak Lebih Dari Background Saja
- Ensiklopedia Natal
- Bukan Miskin tapi rendah Hati
- Love vs. Infatuation
- Healthy Relationships: Emotional Honesty
- Love vs. Loneliness
- Love vs. Friendship
- Love vs. Control
- Healthy Relationships: Balance
- Love vs. Lust
- Cara Alam Menghibur Kita
- Berhentilah Mengeluh
- Cobalah untuk merenung
- Keputusan sang Ayah.
- Kisah Seekor Lalat Bernama Fernando
- Hidup adalah pilihan
- Kisah Kupu-kupu : "Ekspresi seorang pemuda"
- Kisah Kupu-kupu
- Ulat vs Kupu-kupu
- Makna 'Cinta'
- Diam
- Kebebasan
- Kisah Seorang Sabar
- Pelajaran berharga dari seorang teman